Di Kabupaten Gayo Lues, tambang emas dibahas lagi tidak di tengah masyarakat, tidak di komunitas terbuka, bukan juga lewat diskusi public. Tetapi di di dalam ruangan tertutup di antara petinggi pemerintahan dan korporasi tambang. Senin, 28 Juli 2025, PT Gayo Mineral Resource (GMR) duduk berhadap-hadapan dengan Wakil Bupati Gayo Lues, mengulas masa datang project eksploitasi emas. Yang tidak datang pada pertemuan tersebut: petani, warga tradisi, praktisi lingkungan, dan beberapa suara yang sejauh ini menampik.
Tatap muka yang dibuntel kata “silaturrahmi” itu semakin lebih seperti pentas legalitas sepihak. Didalamnya, PT GMR merepresentasikan diri sebagai aktor usaha taat hukum yang patuh proses dan siap memikul semua dampak negatif. Tetapi di atas lapangan, laporan masyarakat Kecamatan Pantan Cuaca mengenai air yang berbeda warna, gatal-gatal kulit, dan kekuatiran rusaknya tempat kopi tidak pernah dipandang seperti sirene. Perusahaan malah menyanggah semua: “tidak ada laporan yang masuk,” kata Chief Technical Dukungan PT GMR, Donny Dharmono. Bahkan juga dia menyebutkan jika karyawan mereka, walaupun beberapa tidak menggunakan sarung tangan, tidak alami keluh kesah.
Pengakuan semacam ini bukan pembelaan—ini pengaburan. Saat perusahaan menampik semua kemungkinan imbas dan minta masyarakat tidak untuk mengumandangkan kegelisahan dengan terbuka, sebenarnya yang mereka kerjakan ialah tutup ruangan demokrasi lingkungan. Mereka menuntut supaya semua keluh kesah diteruskan secara langsung ke mereka, seakan public tidak memiliki hak bicara saat sebelum perusahaan menyepakatinya.
Lebih beresiko ialah sikap pemda. Wakil Bupati Gayo Lues dalam sambutannya mengatakan jika “pemerintahan siap ada di belakang PT GMR”, sepanjang perusahaan mematuhi proses dan menjaga tempat petani. Ini pengakuan beresiko. Pemerintahan, yang semestinya berposisi netral dan menjaga kebutuhan masyarakat, malah menjadi tameng perusahaan dari kritikan. Pengakuan itu tidak memperlihatkan kecermatan, tidak juga janjikan proses pemantauan yang terbuka dan mandiri. Tidak ada penilaian terbuka pada kekuatan imbas lingkungan. Tidak ada keterkaitan warga. Tidak ada catatan mengenai seberapa jauh audit lingkungan dilaksanakan.
Tambah jelek , pemerintahan menyebutkan beberapa suara krisis sebagai “rumor yang dimasak oleh faksi tidak bertanggungjawab.” Ini ialah bentuk delegitimasi pada keterlibatan sipil. Saat kegelisahan masyarakat dilecehkan dan suara minoritas dibungkam atas nama pembangunan, kita sedang melihat demokrasi yang digembok dari dalam.
Janji-janji yang disebar dalam komunitas itu juga kedengar seperti repetisi basi industri ekstraktif di Indonesia. Lapangan pekerjaan beberapa ribu orang, kenaikan penghasilan wilayah, dan pendayagunaan lokal sering jadi cerita baku. Tetapi di semua Indonesia, dari Kalimantan sampai Papua, kita mengetahui jika janji-janji itu seringkali menjadi buih: tenaga kerja lokal ditempatkan kerja sebagai pekerja kasar dengan gaji murah, tempat petani rusak, dan perselisihan horizontal meledak. Tambang tiba bawa janji emas, lantas pergi tinggalkan lubang dan utang sosial.
PT GMR menyebutkan jika project ini dapat menjadi kesempatan besar. Tetapi kesempatan untuk siapa? Apa agunan jika warga lokal bukan hanya menjadi pemirsa di tanah sendiri? Apa proses ganti kerugian bila tempat rusak? Apa proses mitigasi jika air sungai terkontaminasi? Dan siapakah yang jamin jika sesudah eksploitasi bakal ada penilaian krisis, bukan sekedar pertanda jalan ke arah eksplorasi?
Lebih dari itu, di mana ruangan keterlibatan masyarakat? Sampai ini hari, tidak ada komunitas sah dengar opini public yang mengikutsertakan petani Pantan Cuaca, beberapa ibu yang tiap hari menyirami tanaman kopi, beberapa anak muda yang tanah keluarganya sekarang dibayang-bayangi kegiatan berat. Tidak ada dialog terbuka di beberapa masjid daerah, tidak ada tes public di balai dusun. Yang terdapat cuma rapat di gedung pemerintahan dan janji-janji manis di di dalam ruangan ber-AC.
Tanah Gayo bukan daerah tidak bertuan. Tiap lembah dan bukitnya simpan sejarah panjang perjuangan agraria dan ketahanan lokal. Kopi Gayo, bukan tambang emas, yang sejauh ini menjaga masyarakatnya dan mengharumkan nama wilayah di ajang dunia. Mengganti kebun kopi dengan lubang tambang bukan kemajuan—itu kemerosotan.
Telah kebanyakan contoh ketidakberhasilan project tambang di Indonesia yang cuma tersisa cedera. Bila Gayo Lues ingin betul-betul berdaulat atas tanahnya, karena itu satu perihal harus dijunjung tinggi: suara masyarakat jangan dikebiri oleh janji emas. Tidak sekarang ini. Tidak selama-lamanya.